• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Jan
    17
    2019
    0

    Laila dan Majnun, Kisah Cinta Paling Memilukan yang Pernah Terjadi dalam Sejarah Manusia

    Ada sebuah kisah legenda dari tanah Arab yang begitu masyhur hingga dikisahkan secara turun-temurun dan telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa lainnya. Kisah ini bernama Laila dan Majnun, sepasang kekasih penjalin kisah cinta abadi yang berakhir tragis.

    Kisah ini sebetulnya sudah dikenal di Persia (nama lawas Iran) pada abad ke-9. Namun, kisah cinta ini baru populer setelah dirangkai indah oleh seorang pujangga yang sama-sama asal Persia di abad ke-12 bernama Nizami Ganjavi. Oleh karena itu, terdapat berbagai versi yang ditulis ulang oleh para penulis lainnya.

    Awal mula pertemuan sepasang kekasih

    Ada seorang lelaki muda bernama Qays. Ia bukan siapa-siapa. Bukan lelaki kaya lagi berasal dari keluarga terhormat. Suatu hari, ketika sedang mengenyam pendidikan di suatu sekolah agama, ia bertemu seorang gadis bernama Laila. Dan pada detik itu juga, ia jatuh cinta pada gadis tersebut. Sebagai bentuk rasa cintanya, Qays tak dapat mepersembahkan apapun selain puisi-puisi indah.

    Gayung bersambut, Laila yang terkagum pada puisi Qays, menaruh perasaan yang sama terhadapnya. Qays yang tergila-gila pada Laila terus-menerus menulis puisi yang memuji dan mengagungkan sosok menawan gadis tersebut. Ia tak segan membacakan puisi tersebut di sudut-sudut jalan. Tak peduli pada orang lain yang mengacuhkannya. Namun, tidak seperti saat ini, pada zaman dahulu, cinta mengenal sekat.

    Jalinan cinta suci mereka tak direstui oleh orang tua Laila

    Laila adalah seorang gadis cantik yang terlahir dari keluarga terpandang. Sebagai putri dari seorang kaya raya, tentu Laila diharapkan dapat dipersunting oleh lelaki dengan kedudukan setara sehingga ia bisa hidup dalam gelimangan harta dan kekayaan. Namun, cinta yang dimiliki Laila adalah cinta suci yang hanya akan ia persembahkan kepada lelaki yang sungguh-sungguh ia cintai.

    Dan ia telah menemukan sosok tersebut dalam diri Qays. Begitu usia mereka sudah matang, Qays, yang dijuluki Majnun atau “gila” oleh orang-orang lantaran ketergila-gilaannya terhadap Laila memberanikan diri untuk meminta restu ayah Laila. Hasilnya sudah dapat ditebak, ayah Laila menolak mentah-mentah. Ayahnya beralasan bahwa jika pernikahan itu terjadi, kehormatan keluarganya akan tercoreng.

    Majnun yang terkejut mendengarnya, tak kuasa menahan kesedihan. Majnun yang tengah putus asa kemudian meninggalkan rumah dan keluarganya. Ia memutuskan untuk tinggal di padang belantara yang dipenuhi hewan-hewan buas. Di sanalah ia menjalani hidup pengasingan dan kesendirian. Dalam keterpurukannya, ia tak henti-hentinya menulis puisi yang berkisah tentang kekasih pujaannya tersebut.

    Sang pujaan terpaksa menyambung tali pernikahan dengan pria lain

    Di sisi lain, Laila dipaksa oleh orang tuanya untuk menikahi pria lain. Pria itu bernama Ibnu Salam yang datang langsung melamar Laila. Meski hatinya menolak, namun Laila terpaksa mengiyakan karena tak tega membawa aib bagi keluarganya.

    Sepanjang hidupnya, Ibnu Salam tak pernah sekalipun berhasil menyentuh Laila. Apalagi menjamah kesucian Laila. Meski tetap menjalani peran sebagai istri yang baik dan patuh terhadap suaminya, wanita tersebut tak pernah sekalipun merelakan tubuhnya kepada pria tersebut.

    Berita menyakitkan ini lambat laun sampai juga ke telinga Qays si Majnun. Sudah barang tentu hatinya semakin tersayat mendengar kebar ini. Sejak saat itu ia memutuskan untuk menjauh dari peradaban dan menghabiskan sisa waktunya sendirian di pedalaman hutan.

    Hari-harinya hanya ditemani oleh hewan-hewan liar yang secara ajaib kerap berkumpul di dekatnya, khususnya manakala cuaca sedang sangat tak bersahabat. Beberapa pelancong dari negeri sebrang pernah melihat dirinya ketika mereka tengah bepergian dari dan ke dalam kota. Ketika menulis puisi, Majnun hanya bersenjatakan dahan kayu dan menulisnya di atas pasir.

    Kabar duka kepergian orang tua semakin menjatuhkan Majnun ke dalam keterpurukan

    Bertahun-tahun kemudian, kedua orang tua Majnun meninggal. Mengetahui hal ini, Laila berniat mengirimkan kabar tersebut kepada Majnun. Ia menemukan seorang pria tua yang mengklaim sering melihat Majnun di gurun pasir. Melihat Laila memohon sesenggukan, pak tua akhirnya menyetujui permintaan Laila.

    Suatu hari, ketika pria tua tersebut kembali menemukan Majnun, ia pun memberitahukan kabar duka ini. Tersiksa, terpuruk, dan menyesal mendengar kabar kepergian orang tuanya, Majnun kemudian bersumpah untuk menghabiskan seluruh sisa hidupnya di padang gurun ini. Beberapa tahun setelahnya, suami Laila meninggal. Meski tengah dirundung duka, wanita tersebut tetap berharap ia dapat berjumpa dan bersatu dengan cinta sejatinya, selamanya. Sayang, takdir tak berkata demikian.

    Akhir kisah tragis dua sejoli yang tak diperkenankan takdir untuk hidup bersama

    Dalam tradisi sukunya, Laila diwajibkan untuk berkabung atas kepergian suaminya selama dua tahun penuh tanpa menemui orang lain sekalipun. Mengetahui hal tersebut, Laila menangis. Ia tak terima jika harus menunggu dua tahun lagi lamanya untuk dapat bertemu dengan sang pujaan hatinya. Ia sudah sangat tersiksa setelah harus dipisahkan bertahun-tahun lamanya. Laila pun menyerah pada kehidupan. Ia meninggal akibat sakit hati yang tak tersembuhkan, sendirian di masa perkabungan tanpa mampu menemui Majnun yang ia cintai.

    Kabar kematian Laila pada akhirnya sampai juga terdengar oleh Majnun. Sesaat setelah mendengar kabar tersebut, ia langsung pergi menuju tempat dimana Laila dikuburkan. Di sana ia habiskan waktunya dengan menyesal dan menangisi Laila, sosok pujaan yang harus ia relakan pergi untuk selama-lamanya. Ia pun meninggal dunia dengan damai dan jasadnya tergeletak tepat di pinggir makam Laila. Ketika kerabat Laila datang untuk berziarah ke makam Laila, mereka mengetahui bahwa sosok di sampingnya adalah Qays yang dulu dicintai oleh Laila. Qays si Majnun pun dikubur di samping Laila. Konon, ruh mereka bersatu dalam dunia yang abadi.

    Begitulah, kisah cinta Laila dan Majnun yang harus berakhir tragis dan memilukan. Namun, kisah perjuangan mereka dalam menjaga kesucian cinta bagi satu sama lain akan terus abadi dan selalu dikenang terutama oleh insan-insan manusia yang mencari cinta suci dari kekasih sejati.

    Sumber:

    Written by erwin_f in: Kisah |
    Feb
    07
    2018
    0

    Tukang Bangunan

    Ada seorang tukang bangunan yang telah bertahun-tahun bekerja ikut pemborong. Ia pun bermaksud mengajukan pensiun karena ingin memiliki banyak waktu untuk keluarganya. Si pemborong berkata, “Saya setujui permohonan pensiun Anda dengan syarat Anda bangun dahulu satu rumah terakhir sebelum Anda pensiun.” Si tukang bangunan segera membangunnya. Karena kejar tayang, ia pun mengerjakannya asal-asalan dan asal jadi.
    Selesai sudah bangunan terakhir yg ia buat. Ia serahkan kunci rumah kpda sang pemborong. Sang Pemborong pun tersenyum dan berkata, “Rumah ini adlh hadiah untukmu, krn telah lama bekerja bersamaku.” Maka terkejutlah tukang bangunan itu, dan ada rasa sesal kenapa rumah yg akhirnya hendak ia tempati itu dikerjakannya scr asal2an.

    Faedah:
    Ibadah yg kita kerjakan di dunia ini, tak lain adlh ‘rumah’ yg sedang kita bangun untuk kita tempati nanti setelah pensiun dari kehidupan dunia. Jangan sampai kelak kita menyesal krn kita menempati rumah buruk yg kita bangun asal2an, …

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Feb
    05
    2018
    0

    FENOMENA DI PENGADILAN SAUDI …

    Di salah 1 pengadilan Qasim, berdiri Hizan al Fuhaidi dgn air mata yg bercucuran shg membasahi janggutnya. Knp? Krn ia kalah terhadap perseteruannya dgn saudara kandungnya.
    Tentang apakah perseteruannya dgn saudaranya? Ttng tanah kah? Atau warisan yg mereka saling perebutkan?
    Bkn krn itu semua. Ia kalah terhdp saudaranya terkait pemeliharaan ibunya yg sdh tua renta & bahkan hanya memakai sebuah cincin timah di jarinya yg tlh keriput. Seumur hidupnya, beliau tinggal dgn Hizan yg selama ini menjaganya. Tatkala beliau telah manula, datanglah adiknya yg tinggal di kota lain utk mengambil ibunya agar tinggal bersamanya dgn alasan fasilitas kesehatan, dll. di kota jauh lbh lengkap drpd di desa.
    Namun Hizan menolak dgn alasan, selama ini ia mampu utk menjaga ibunya. Perseteruan ini tdk berhenti sampai di sini, hingga berlanjut ke pengadilan. Sidang demi sidang dilalui hingga sang hakim pun meminta agar sang ibu dihadirkan di majelis. Kedua bersaudara ini membopong ibunya yg sdh tua renta yg beratnya sdh tdk sampai 40 kg.
    Sang Hakim bertanya kpdnya, “siapa yg lbh berhak tinggal bersamanya?” Sang ibu memahami pertanyaan sang hakim, ia pun mnjawab, sambil menunjuk ke Hizan, “Ini mata kananku” kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata, “Ini mata kiriku.”
    Sang Hakim brpikir sejenak kmudian memutuskan hak kpd adik Hizan, brdasar kemaslahatan2 bagi si ibu.

    Betapa mulia air mata yg dikucurkan oleh Hizan …
    Air mata penyesalan krn tdk bisa memelihara ibunya tatkala beliau tlh menginjak usia lanjutnya …
    Dan …, betapa trhormat dan agungnya sang ibu yg diperebutkan oleh anak2nya hingga seperti ini …
    Andaikata kita bisa memahami, bagaimana sang ibu mendidik kedua putranya hingga ia mnjdi ratu dan mutiara termahal bagi anak2nya …

    Sebuah pelajaran mahal ttng berbakti tatkala durhaka sdh mnjadi budaya …
    Ya Rabb, anugerahkan kpd kami ridha ibu kami dan berilah kami kekuatan agar selalu bisa berbakti kepadanya, Aamiiiin …

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Jan
    19
    2018
    0

    Pemabuk yang Menjadi Imam

    Ada dua pemuda penduduk asli Madinah al-Munawarah. Keduanya tamasya ke Turki utk mengisi liburan mereka dengan bersenang2 dan menenggak khamr. Ketika telah sampai Istanbul, keduanya membeli khamr scr sembunyi2, lalu menaiki taksi menuju daerah Riifah dan tinggal di sebuah hotel. Pada saat check in, resepsionis bertanya asal negera mereka. Salah satu dari keduanya menjawab, “dari Madinah.”

    Terlihat binar bahagia resepsionis mendengar asal kedua pemuda itu. Disiapkan utk keduanya paviliun dgn harga kamar biasa demi memuliakan tamu yang berasal dari kota Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Alangkah gembira keduanya menerima penghormatan itu. Mereka melalui malamnya dgn menenggak khamr. Satu dari keduanya mabuk, sedangkan satunya lagi setengah mabuk hingga mereka tidur.

    Tiba2, ada seseorang mengetuk pintu depan. Salah seorang dari keduanya bangun membuka pintu dgn setengah sadar karena kantuk. Ternyata ada pelayan hotel yg kemudian brkata, “Permisi, imam masjid kami menangguhkan shalat Shubuh begitu mendengar ada tamu dari Madinah yg menginap di sini, maka kami menunggu Anda berdua di masjid bawah.”

    Seperti tersambar petir ia mendengarnya. Buru-buru ia membangunkan temannya dan bertanya, “Kamu punya hafalan al-Qur’an nggak?” Ia menjawab, “Ada, tapi tidak mungkin saya berdiri sebagai imam.” Keduanya berpikir keras utk keluar dari ‘masalah’ tersebut. Blm lagi jalan keluar ditemukan, kembali pelayan hotel mengetuk pintu, “Mohon sedikit dipercepat, kami sudah menunggu Anda di masjid bawah, takut kesiangan.”

    Buru2 keduanya mandi dan ‘terpaksa’ turun ke masjid. Ternyata masjid penuh seperti layaknya shalat Jumat. Para jamaah menyalami keduanya seperti layaknya khalayak menyambut seorang ulama.

    Salah satu dari keduanya maju menjadi imam. Ia pun berusaha memantapkan hati dan bertakbir. Dan tatkala ia mulai membaca ”alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin” tiba-tiba menangislah jamaah masjid merasa seakan shalat di masjid Nabawi karena imamnya berasal dari Madinah. Imam pun terbawa suasana hingga turut menangis sebagaimana makmumnya. Tak ada surat lain yang dibaca selain surat al-Ikhlas di sholat itu.

    Usai shalat, org2 mndekati imam shalat seakan ingin mengenal lebih dekat dan menyalaminya. Itulah awal hidayah menyapa dua pemuda peminum khamr itu. Kini keduanya menjadi da’i di jalan Allah, Allahu Akbar … walillahil hamd …

    #Ada kalanya Allah mengondisikan kita dengan suatu ‘masalah’ dan ‘kesulitan’, tapi bisa jadi itu adalah cara Allah memperbaiki diri kita.

    (via Ust. Abu Umar A.)

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Oct
    18
    2017
    0

    Bentuk-Bentuk Perkataan dalam Al Quran

    Ada sebuah pepatah, “Lidah itu tidak bertulang, tetapi ia lebih tajam daripada pedang”. Pepatah ini benar adanya. Terluka oleh lisan akan lebih sakit dibanding terluka oleh pedang. Pasalnya, luka karena pedang banyak medical service yang memungkinkan penyembuhan. Tetapi, luka karena lisan belum tentu ada penawarnya, karena yang terluka bukanlah fisik melainkan batin.

     

    Kata-kata yang keluar dari mulut kita tidak selamanya kita rasa baik, terkadang secara sengaja atau tidak menyayat hati pendengarnya. Jika hal tersebut dibiarkan maka ucapan yang keluar dari mulut kita justru akan merugikan diri kita sendiri. Sehingga, ahli ibadah divonis celaka oleh Rasulullah saw gara-gara lisannya yang tidak terjaga. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

    قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص إِنَّ فُلَانَةَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ هِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِى جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ لَا خَيْرَ فِيْهَا هَيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

    Dikatakan kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari. Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”. Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk ahli neraka”. (H.R. Ahmad).

    Macam-macam Qaulan (perkataan)

    Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan sesempurnanya dibandingkan makhluk yang lain. Keindahan dan kesempurnaan manusia hendaknya diiringi dengan keindahan dan kesempurnaan perangai. Salah satunya, manusia mesti mengindahkan dan menyempurnakan diri dengan komunikasi yang baik –meskipun pada kenyataannya tidak ada manusia yang sempurna–.

    Untuk menyokong hal ini, Allah memberi kelebihan kepada kita sebagai manusia supaya pandai berkomunikasi sebagaimana dijelaskan dalam QS ar-Rahman ayat 4, “Allah mengajarkan manusia pandai berbicara”. Ayat tersebut menyiratkan perintah supaya kita berkomunikasi dengan baik.

    Dalam al-Quran terdapat macam-macam qaulan (perkataan), diantaranya:

    1. Qaulan Karima

    Dilihat dari segi bahasa, karima berasal dari kata karuma yakrumu karman karimun yang bermakna mulia. Al-Quran mengingatkan kita untuk menggunakan bahasa yang mulia, yakni perkataan yang memuliakan dan memberi penghormatan kepada orang yang diajak bicara sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

    فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

    “… janganlah kamu mengatakan ‘ah’ kepada mereka (orang tua), jangan pula kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia!(QS al-Isra` [17]: 23).

    1. Qaulan Ma’rufa

    Ma’rufa identik dengan kata urf atau budaya. Menurut M. Quraish Shihab, ma’ruf secara bahasa artinya baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Qaulan ma’rufa berarti perkataan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufa berarti pula perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang. Seorang guru hendaknya berutur kata yang santun karena memang pantasnya begitu. Pun dengan seorang da’i, muballigh, petinggi ormas, dll. hendaknya berbicara dengan perkataan ma’ruf, karena memang seperti itulah pantasnya.

    Dalam al-Quran dijelaskan:

    وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

    Dan janganlah kamu menyerahkan harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan! berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik!” (QS an-Nisa [4]: 5).

    1. Qaulan Sadida

    Sadida berarti jelas, jernih, terang. Dalam al-Quran, konteks qaulan sadida diugkapkan pada pembahasan mengenai wasiat (QS an-Nisa [4]: 9) dan tentang buhtan (tuduhan tanpa bukti) yang dilakukan kaum Nabi Musa kepada Nabi Musa (QS al-Ahzab [33]: 70).

    Dari kedua konteks ayatnya, qaulan sadida merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, dan perkataan yang benar tidak mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).

    1. Qaulan Baligha

    Terhadap kelompok oposisi atau kaum munafiq kita diminta menggunakan bahasa yang komunikatif (qaulan baligha). Baligha itu sendiri berarti sampai. Dalam konteks ayatnya (QS an-Nisa [4]: 63), qaulan baligha dimaknai sebagai perkataan yang sampai dan meninggalkan bekas di dalam jiwa seseorang.

    Ini merupakan indikasi bahwa dakwah itu mesti diupayakan. Salah satunya adalah dakwah dengan lisan (da’wah billisan). Dan, kemestian dakwah dengan lisan ini tentunya bagi yang mumpuni dan berkapasitas. Kecakapan dakwah yang perlu diasah adalah dalam penyampaian verbal. Maka, kecakapan dalam qaulan baligha merupakan hal yang niscaya bagi seorang da’i atau muballigh.

    1. Qaulan Maysura

    Maysura artinya mudah. Qaulan maysura berarti perkataan yang mudah. Dalam konteks ayatnya (QS al-Isra` [17]: 28), Imam al-Maraghi mengartikannya sebagai ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan makna qaulan maysura dengan perkataan yang pantas dan ucapan janji yang menyenangkan. Kedua pendapat tersebut identik, yakni ucapan yang keluar dari mulut kita hendaknya menyenangkan orang dan tidak mengecewakannya.

    1. Qaulan Layyina

    Secara bahasa layyina artinya lemah lembut. Qaulan layyina bisa bermakna sebagai strategi dakwah. Pasalnya, konteks qaulan layyina (QS Thaha [20]: 44) berbicara tentang dialog Nabi Musa dengan Firaun.

    Sebagai seseorang yang dibesarkan dan disenangkan di istana Firaun, penguasa yang melabeli diri sebagai tuhan, Musa harus berurusan dengan Firau sebagai objek dakwah tauhidnya. Berat rasanya bagi Nabi Musa. Tetapi, ini adalah misi yang diembankan Allah. Maka, Allah menuntun dan memotivasi agar Nabi Musa menggunakan qaulan layyina saat menyampaikan dakwahnya. Ini dimaksudkan agar Firaun menjadi sadar dan takut, meskipun pada kenyataannya Firaun marah besar dan berupaya untuk melenyapkan Nabi Musa dan ajarannya.

    Epilog

    Dengan dilansirnya macam-macam qaulan dalam al-Quran sebagaimana dijelaskan, menandakan bahwa masalah qaulan yang lahir dari lisan begitu penting untuk dimanage dengan baik. Salah kata, salah ucap, mengakibatkan bahaya yang besar. Jangan jauh-jauh, ketika nama Anda adalah Cecep misalnya, kemudian orang menyebut Anda Cepot, perasaan Anda mungkin akan tidak nyaman karena nama Anda bukanlah Cepot. Atau, Anda mengatakan sesuatu yang benar tetapi cara Anda mengatakan sesuatu terkesan arogan, maka hati si komunikas akan tersayat membekas luka oleh Anda.

    Sekali lagi, mari menjaga lisan agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, kata-kata kasar, kata-kata menyinggung, kata-kata jorok, kata-kata tidak pantas, dan kata-kata negatif lainnya.

    Rasulullah saw. menasehati:

    إِحْفَظْ لِسَانَكَ

    “Jagalah lidahmu!” (HR Ibnu Asakir).

    Sumber: http://menjadihebat.blogspot.co.id/2013/02/macam-macam-qaulan-dalam-al-quran.html

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Oct
    04
    2017
    0

    Keutamaan Shalat Isyroq

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

     

    « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

     

    Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“[2].

     

    Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat[3].

     

    Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

    • Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama[4] dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha[5].
    • Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak[6], yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit[7], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit[8].
    • Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi”[9].
    • Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid[10].
    • Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.
    • Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah[11].
    • Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.

    Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

    Artikel www.muslim.or.id

     

    [1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.

    [2] HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).

    [3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “at-Targhib wat tarhib” (1/111-shahih at-targhib).

    [4] Bahkan penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas t, lihat kitab “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

    [5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

    [6] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

    [7] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61).

    [8] Dalam HSR Muslim (no. 831).

    [9] HSR Muslim (no.670) dan at-Tirmidzi (no.585).

    [10] Demikian keterangan yang kami pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah.

    [11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    30
    2017
    0

    Interview for Job Hunting …

    Di sebuah desa kecil, seorang mutarabbi minta izin sekaligus doa kpda murabbiny untuk mengikuti interview krja. Sang murabbi pun terdiam sejenak, sperti sdikit kontemplasi, akhirnya sang murabbi menjawab dngan singkat & jls smpai sang mutarabbi pun mengangguk2 smbil berbisik “subhanallah …”
    Nak, ilmu yg ad di dunia in smuanya berinduk di Qur’an dan Sunnah, smua telah tertulis sejak 14 abad yang lalu.
    Begini Nak, peganglah prinsip in:

    1. Qaulan Sadida
    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Q.S. Al Ahzab: 70)

    2. Qaulan Tsaqila
    “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (Q.S. Al Muzzammil: 5)

    3. Qaulan Layyina
    “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. Thaahaa: 44)

    4. Qaulan Ma’rufa
    “… berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. An Nisaa’: 5)

    Lalu bagaimana cara untuk menjawab pertanyaan2 yg sya tdk mengetahui sblmny Ustadz? Dengan tegas, sang murabbi menjawab, “insya Allah Nak, jika hubungan/kmunikasi dgn Allah baik, maka hubungan dgn sesama pun menjadi baik.”
    Bukankah Allah telah berfirman:
    “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. Ath Thalaaq: 3)

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    “Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan).” (H.R. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

    Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah memberikan kita kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah dikabulkan do’a.

     

    Saudaraku … Dalam sebuah hadits disebutkan,

    ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

    Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu: (1) do’a orang yang terzholimi, (2) do’a seorang musafir, (3) do’a orang tua pada anaknya.” (HR. Ahmad 12/479 no. 7510, At Tirmidzi 4/314 no. 1905, Ibnu Majah 2/1270 no. 3862. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini)

     

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan bahwa safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan). Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

    Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan)”. (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

     

    Artinya safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Coba bayangkan jika Anda melakukan safar dari luar negeri kembali ke kampung halaman. Apalagi jika safar tersebut mesti transit di beberapa kota. Yang sebelumnya mungkin ditempuh dalam waktu 9 jam, karena mesti transit di kota lain, akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hampir 24 jam. Apalagi keadaan di kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan karena kita tidak bisa tidur sebagaimana layaknya. Badan tidak bisa direbahkan ke kasur yang empuk. Sungguh amat menyulitkan.

    Karena kondisi sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Saat hati begitu pasrah, itulah saat mudah diijabahinya do’a. Saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla, itulah hakekat ‘ubudiyah (penghambaan), penghinaan, dan menundukkan diri pada-Nya. Akhirnya seorang hamba pun mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang demikian, maka doa yang ia panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a itu dikabulkan.

     

    Wahai saudaraku … Manfaatkanlah waktu ketika engkau bersafar untuk banyak memohon segala kemudahan dari Allah Ta’ala. Mintalah kemudahan dari-Nya atas urusan safarmu. Begitu pula mohonlah pada Allah agar dimudahkan dalam urusan dunia lainnya, begitu pula jangan lupakan yang utama doa agar diberi berbagai kemudahan dalam hisab di akhirat. Jangan lupa doakan atas kebaikan diri, dijauhkan dari kejelekan diri, begitu pula doakan kebaikan bagi istri, anak, orang tua, kerabat dan saudara muslim lainnya.

     

    Dzikir saat safar yang bisa diamalkan agar safar jadi lebih berkah:

    Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,

    سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

    Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna  lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun[1]. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)[2]

     

    Semoga Allah selalu memberi kemudahan dalam setiap safar kita. Semoga safar kita adalah safar yang penuh berkah.

     

    Reference:

    Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)

     

    Riyadh- KSA, 9 Jumadil Ula 1432 H, 12/04/2011

    www.rumaysho.com

     

    [1] QS. Az Zukhruf: 13-14

    [2] HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Kala Ali Telat Subuh Berjamaah

    Dini hari itu Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah kedahuluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa, karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.

     

    Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru kota Madinah.

     

    Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.

     

    Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahiyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.

     

    Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapa pun itu dan apa pun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.

     

    Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya melewati masjid.

     

    Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.

     

    Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”

     

    Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”

     

    “Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engkau rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”

     

    Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun i’tidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”

     

    Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”

    Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”

     

    Dengan perkenan Allah, beberapa waktu kemudian malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi, “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itu pun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”

     

    Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.

    http://www.dakwatuna.com/2007/02/117/kala-ali-telat-subuh-berjamaah/

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Doanya Tertolak Selama Empat Bulan Karena Sebutir Kurma

    Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham rahimahullah berniat ziarah ke Masjid Al Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram.

    Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba-tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
    “Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH,” kata malaikat yang satu.

    “Tetapi sekarang tidak lagi, doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram,” jawab malaikat yang satu lagi.

    Ibrahim bin Adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya, dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.

    “Astaghfirullahal adzhim,” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.

    Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua, ke mana ia sekarang?” tanya Ibrahim. “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma,” jawab anak muda itu.

    “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?”. Lantas Ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah,” kata Ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orang tua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”

    “Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” Ibrahim bertanya, “Di mana alamat saudara-saudaramu?, biar saya temui mereka satu persatu.”

    Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui saudara-saudaranya yang lain. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.

    4 bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada di bawah kubah Sakhra. Tiba-tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap-cakap. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain.”

    “O, tidak, sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

    Subhanallah, jika sebutir kurma yang tidak halal (yang mungkin harganya hanya 1000 rupiah saja) menyebabkan doa kita tertolak, BAGAIMANA DENGAN YANG LEBIH BESAR DARI ITU?

    Sumber: http://kisahislami.com/doanya-tertolak-selama-empat-bulan-karena-sebutir-kurma/

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |

    Powered by WordPress. Theme: TheBuckmaker

  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO