• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Sep
    30
    2017
    0

    Interview for Job Hunting …

    Di sebuah desa kecil, seorang mutarabbi minta izin sekaligus doa kpda murabbiny untuk mengikuti interview krja. Sang murabbi pun terdiam sejenak, sperti sdikit kontemplasi, akhirnya sang murabbi menjawab dngan singkat & jls smpai sang mutarabbi pun mengangguk2 smbil berbisik “subhanallah …”
    Nak, ilmu yg ad di dunia in smuanya berinduk di Qur’an dan Sunnah, smua telah tertulis sejak 14 abad yang lalu.
    Begini Nak, peganglah prinsip in:

    1. Qaulan Sadida
    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Q.S. Al Ahzab: 70)

    2. Qaulan Tsaqila
    “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (Q.S. Al Muzzammil: 5)

    3. Qaulan Layyina
    “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S. Thaahaa: 44)

    4. Qaulan Ma’rufa
    “… berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. An Nisaa’: 5)

    Lalu bagaimana cara untuk menjawab pertanyaan2 yg sya tdk mengetahui sblmny Ustadz? Dengan tegas, sang murabbi menjawab, “insya Allah Nak, jika hubungan/kmunikasi dgn Allah baik, maka hubungan dgn sesama pun menjadi baik.”
    Bukankah Allah telah berfirman:
    “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. Ath Thalaaq: 3)

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    “Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan).” (H.R. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

    Safar (perjalanan jauh) adalah suatu hal yang menyulitkan. Namun di saat sulit semacam itu, Allah memberikan kita kesempatan untuk banyak berdo’a dan di situlah waktu mustajab, mudah dikabulkan do’a.

     

    Saudaraku … Dalam sebuah hadits disebutkan,

    ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

    Tiga waktu diijabahi (dikabulkan) do’a yang tidak diragukan lagi yaitu: (1) do’a orang yang terzholimi, (2) do’a seorang musafir, (3) do’a orang tua pada anaknya.” (HR. Ahmad 12/479 no. 7510, At Tirmidzi 4/314 no. 1905, Ibnu Majah 2/1270 no. 3862. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini)

     

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan bahwa safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan). Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ

    Safar adalah bagian dari ‘adzab (siksaan)”. (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

     

    Artinya safar itu benar-benar akan mendapati kesulitan. Coba bayangkan jika Anda melakukan safar dari luar negeri kembali ke kampung halaman. Apalagi jika safar tersebut mesti transit di beberapa kota. Yang sebelumnya mungkin ditempuh dalam waktu 9 jam, karena mesti transit di kota lain, akhirnya perjalanan tersebut memakan waktu hampir 24 jam. Apalagi keadaan di kendaraan atau pesawat yang kurang menyenangkan karena kita tidak bisa tidur sebagaimana layaknya. Badan tidak bisa direbahkan ke kasur yang empuk. Sungguh amat menyulitkan.

    Karena kondisi sulit dalam safar, hati pun akhirnya pasrah. Saat hati begitu pasrah, itulah saat mudah diijabahinya do’a. Saat kepasrahan hati pada Rabb ‘azza wa jalla, itulah hakekat ‘ubudiyah (penghambaan), penghinaan, dan menundukkan diri pada-Nya. Akhirnya seorang hamba pun mengikhlaskan diri beribadah pada-Nya. Jika kondisi seseorang demikian, maka doa yang ia panjatkan akan makin mudah diijabahi. Semakin lama seseorang bersafar, semakin dekat pula do’a itu dikabulkan.

     

    Wahai saudaraku … Manfaatkanlah waktu ketika engkau bersafar untuk banyak memohon segala kemudahan dari Allah Ta’ala. Mintalah kemudahan dari-Nya atas urusan safarmu. Begitu pula mohonlah pada Allah agar dimudahkan dalam urusan dunia lainnya, begitu pula jangan lupakan yang utama doa agar diberi berbagai kemudahan dalam hisab di akhirat. Jangan lupa doakan atas kebaikan diri, dijauhkan dari kejelekan diri, begitu pula doakan kebaikan bagi istri, anak, orang tua, kerabat dan saudara muslim lainnya.

     

    Dzikir saat safar yang bisa diamalkan agar safar jadi lebih berkah:

    Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu membaca,

    سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

    Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna  lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun[1]. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)[2]

     

    Semoga Allah selalu memberi kemudahan dalam setiap safar kita. Semoga safar kita adalah safar yang penuh berkah.

     

    Reference:

    Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)

     

    Riyadh- KSA, 9 Jumadil Ula 1432 H, 12/04/2011

    www.rumaysho.com

     

    [1] QS. Az Zukhruf: 13-14

    [2] HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Kala Ali Telat Subuh Berjamaah

    Dini hari itu Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah kedahuluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa, karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.

     

    Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru kota Madinah.

     

    Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.

     

    Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahiyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.

     

    Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapa pun itu dan apa pun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.

     

    Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya melewati masjid.

     

    Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.

     

    Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”

     

    Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”

     

    “Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engkau rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”

     

    Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun i’tidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”

     

    Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”

    Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”

     

    Dengan perkenan Allah, beberapa waktu kemudian malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi, “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itu pun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”

     

    Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.

    http://www.dakwatuna.com/2007/02/117/kala-ali-telat-subuh-berjamaah/

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Doanya Tertolak Selama Empat Bulan Karena Sebutir Kurma

    Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham rahimahullah berniat ziarah ke Masjid Al Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram.

    Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa khusuk sekali. Tiba-tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
    “Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH,” kata malaikat yang satu.

    “Tetapi sekarang tidak lagi, doanya ditolak karena 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram,” jawab malaikat yang satu lagi.

    Ibrahim bin Adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya, dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.

    “Astaghfirullahal adzhim,” Ibrahim beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.

    Begitu sampai di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua, ke mana ia sekarang?” tanya Ibrahim. “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma,” jawab anak muda itu.

    “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?”. Lantas Ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah,” kata Ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orang tua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”

    “Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” Ibrahim bertanya, “Di mana alamat saudara-saudaramu?, biar saya temui mereka satu persatu.”

    Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui saudara-saudaranya yang lain. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.

    4 bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada di bawah kubah Sakhra. Tiba-tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap-cakap. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain.”

    “O, tidak, sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

    Subhanallah, jika sebutir kurma yang tidak halal (yang mungkin harganya hanya 1000 rupiah saja) menyebabkan doa kita tertolak, BAGAIMANA DENGAN YANG LEBIH BESAR DARI ITU?

    Sumber: http://kisahislami.com/doanya-tertolak-selama-empat-bulan-karena-sebutir-kurma/

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Karena Aku Tak Seberani ‘Ali dan Kau Tak Setakwa Fathimah

    Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, putri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

    Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

     

    ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

    ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

     

    Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

    Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

    Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

    ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

    ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

     

    Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

    Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.

    Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

     

    Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

    Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

    ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar.”

    Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

    ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putra Al Khaththab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

     

    Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

    Ia mengambil kesempatan.

    Itulah keberanian.

    Atau mempersilakan.

    Yang ini pengorbanan.

     

    Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

    Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

    Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

    ”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi”

    ”Aku?”, tanyanya tak yakin.

    ”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

    ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

    ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

    ’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

    ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

    Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu risiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

    ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

    ”Entahlah …”

    ”Apa maksudmu?”

    ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

    ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

    ”Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

    Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

    Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

    ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

    Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”

    ‘Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan Siapakah pemuda itu?”

    Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”

    Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fathimah putri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan mas kawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

    Kemudian Rasulullah mendoakan keduanya:

    “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (Ar Riyadh An Nadhrah 2: 183, Bab 4)

     

    Dalam kehidupan ini, sering kali seseorang berharap kisahnya akan seindah kisah di atas. Seolah-olah balada cintanya termotivasi oleh perjuangan Ali ketika merelakan cintanya untuk para sahabat. Namun, yang seharusnya kita tinjau lebih dalam adalah sudahkah kita meneladani Ali dari segi perjuangan yang lainnya, hingga beliau menjadi sahabat yang sangat dekat dengan Allah dan Rasul-Nya? Dan sudahkah kita meneladani sosok Fathimah dengan segala bentuk ketakwaannya?

    Semoga menjadi renungan pribadi, bahwa menjadi Fathimah dan Ali bukanlah sekadar perkara merapikan perasaan cinta di dasar hati. Namun, bagaimana menjadikan rasa tersebut berbuah manis ketika pangkal dari rasa cinta adalah kecintaan kita kepada-Nya.

    Ya, Karena Aku Tak Seberani ‘Ali dan Kau Tak Setakwa Fathimah.

     

    Mencintai Sejantan ‘Ali, Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A. Fillah

    Sumber: http://anzuinwritten.wordpress.com/2011/03/03/karena-aku-tak-setaqwa-fatimah-dan-kau-tak-seberani-ali/

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Sep
    29
    2017
    0

    Bolehkah Meminta-Minta?

    Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

    “Sungguh jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik daripada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak.”
    (H.R. Al Bukhari no. 1402 dan no. 1410)

    “Wahai Qobishoh, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qobishoh adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (H.R. Muslim no. 1044)

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |

    Powered by WordPress. Theme: TheBuckmaker

  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO