• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Oct
    18
    2017
    0

    Bentuk-Bentuk Perkataan dalam Al Quran

    Ada sebuah pepatah, “Lidah itu tidak bertulang, tetapi ia lebih tajam daripada pedang”. Pepatah ini benar adanya. Terluka oleh lisan akan lebih sakit dibanding terluka oleh pedang. Pasalnya, luka karena pedang banyak medical service yang memungkinkan penyembuhan. Tetapi, luka karena lisan belum tentu ada penawarnya, karena yang terluka bukanlah fisik melainkan batin.

     

    Kata-kata yang keluar dari mulut kita tidak selamanya kita rasa baik, terkadang secara sengaja atau tidak menyayat hati pendengarnya. Jika hal tersebut dibiarkan maka ucapan yang keluar dari mulut kita justru akan merugikan diri kita sendiri. Sehingga, ahli ibadah divonis celaka oleh Rasulullah saw gara-gara lisannya yang tidak terjaga. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

    قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص إِنَّ فُلَانَةَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ هِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِى جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ لَا خَيْرَ فِيْهَا هَيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

    Dikatakan kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari. Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”. Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk ahli neraka”. (H.R. Ahmad).

    Macam-macam Qaulan (perkataan)

    Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan sesempurnanya dibandingkan makhluk yang lain. Keindahan dan kesempurnaan manusia hendaknya diiringi dengan keindahan dan kesempurnaan perangai. Salah satunya, manusia mesti mengindahkan dan menyempurnakan diri dengan komunikasi yang baik –meskipun pada kenyataannya tidak ada manusia yang sempurna–.

    Untuk menyokong hal ini, Allah memberi kelebihan kepada kita sebagai manusia supaya pandai berkomunikasi sebagaimana dijelaskan dalam QS ar-Rahman ayat 4, “Allah mengajarkan manusia pandai berbicara”. Ayat tersebut menyiratkan perintah supaya kita berkomunikasi dengan baik.

    Dalam al-Quran terdapat macam-macam qaulan (perkataan), diantaranya:

    1. Qaulan Karima

    Dilihat dari segi bahasa, karima berasal dari kata karuma yakrumu karman karimun yang bermakna mulia. Al-Quran mengingatkan kita untuk menggunakan bahasa yang mulia, yakni perkataan yang memuliakan dan memberi penghormatan kepada orang yang diajak bicara sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

    فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

    “… janganlah kamu mengatakan ‘ah’ kepada mereka (orang tua), jangan pula kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia!(QS al-Isra` [17]: 23).

    1. Qaulan Ma’rufa

    Ma’rufa identik dengan kata urf atau budaya. Menurut M. Quraish Shihab, ma’ruf secara bahasa artinya baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Qaulan ma’rufa berarti perkataan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufa berarti pula perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang. Seorang guru hendaknya berutur kata yang santun karena memang pantasnya begitu. Pun dengan seorang da’i, muballigh, petinggi ormas, dll. hendaknya berbicara dengan perkataan ma’ruf, karena memang seperti itulah pantasnya.

    Dalam al-Quran dijelaskan:

    وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

    Dan janganlah kamu menyerahkan harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan! berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik!” (QS an-Nisa [4]: 5).

    1. Qaulan Sadida

    Sadida berarti jelas, jernih, terang. Dalam al-Quran, konteks qaulan sadida diugkapkan pada pembahasan mengenai wasiat (QS an-Nisa [4]: 9) dan tentang buhtan (tuduhan tanpa bukti) yang dilakukan kaum Nabi Musa kepada Nabi Musa (QS al-Ahzab [33]: 70).

    Dari kedua konteks ayatnya, qaulan sadida merupakan perkataan yang jelas, tidak meninggalkan keraguan, meyakinkan pendengar, dan perkataan yang benar tidak mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).

    1. Qaulan Baligha

    Terhadap kelompok oposisi atau kaum munafiq kita diminta menggunakan bahasa yang komunikatif (qaulan baligha). Baligha itu sendiri berarti sampai. Dalam konteks ayatnya (QS an-Nisa [4]: 63), qaulan baligha dimaknai sebagai perkataan yang sampai dan meninggalkan bekas di dalam jiwa seseorang.

    Ini merupakan indikasi bahwa dakwah itu mesti diupayakan. Salah satunya adalah dakwah dengan lisan (da’wah billisan). Dan, kemestian dakwah dengan lisan ini tentunya bagi yang mumpuni dan berkapasitas. Kecakapan dakwah yang perlu diasah adalah dalam penyampaian verbal. Maka, kecakapan dalam qaulan baligha merupakan hal yang niscaya bagi seorang da’i atau muballigh.

    1. Qaulan Maysura

    Maysura artinya mudah. Qaulan maysura berarti perkataan yang mudah. Dalam konteks ayatnya (QS al-Isra` [17]: 28), Imam al-Maraghi mengartikannya sebagai ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan makna qaulan maysura dengan perkataan yang pantas dan ucapan janji yang menyenangkan. Kedua pendapat tersebut identik, yakni ucapan yang keluar dari mulut kita hendaknya menyenangkan orang dan tidak mengecewakannya.

    1. Qaulan Layyina

    Secara bahasa layyina artinya lemah lembut. Qaulan layyina bisa bermakna sebagai strategi dakwah. Pasalnya, konteks qaulan layyina (QS Thaha [20]: 44) berbicara tentang dialog Nabi Musa dengan Firaun.

    Sebagai seseorang yang dibesarkan dan disenangkan di istana Firaun, penguasa yang melabeli diri sebagai tuhan, Musa harus berurusan dengan Firau sebagai objek dakwah tauhidnya. Berat rasanya bagi Nabi Musa. Tetapi, ini adalah misi yang diembankan Allah. Maka, Allah menuntun dan memotivasi agar Nabi Musa menggunakan qaulan layyina saat menyampaikan dakwahnya. Ini dimaksudkan agar Firaun menjadi sadar dan takut, meskipun pada kenyataannya Firaun marah besar dan berupaya untuk melenyapkan Nabi Musa dan ajarannya.

    Epilog

    Dengan dilansirnya macam-macam qaulan dalam al-Quran sebagaimana dijelaskan, menandakan bahwa masalah qaulan yang lahir dari lisan begitu penting untuk dimanage dengan baik. Salah kata, salah ucap, mengakibatkan bahaya yang besar. Jangan jauh-jauh, ketika nama Anda adalah Cecep misalnya, kemudian orang menyebut Anda Cepot, perasaan Anda mungkin akan tidak nyaman karena nama Anda bukanlah Cepot. Atau, Anda mengatakan sesuatu yang benar tetapi cara Anda mengatakan sesuatu terkesan arogan, maka hati si komunikas akan tersayat membekas luka oleh Anda.

    Sekali lagi, mari menjaga lisan agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, kata-kata kasar, kata-kata menyinggung, kata-kata jorok, kata-kata tidak pantas, dan kata-kata negatif lainnya.

    Rasulullah saw. menasehati:

    إِحْفَظْ لِسَانَكَ

    “Jagalah lidahmu!” (HR Ibnu Asakir).

    Sumber: http://menjadihebat.blogspot.co.id/2013/02/macam-macam-qaulan-dalam-al-quran.html

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |
    Oct
    04
    2017
    0

    Keutamaan Shalat Isyroq

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

     

    « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

     

    Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“[2].

     

    Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat[3].

     

    Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

    • Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama[4] dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha[5].
    • Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak[6], yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit[7], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit[8].
    • Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi”[9].
    • Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid[10].
    • Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.
    • Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah[11].
    • Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.

    Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

    Artikel www.muslim.or.id

     

    [1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.

    [2] HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).

    [3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “at-Targhib wat tarhib” (1/111-shahih at-targhib).

    [4] Bahkan penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas t, lihat kitab “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

    [5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

    [6] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

    [7] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61).

    [8] Dalam HSR Muslim (no. 831).

    [9] HSR Muslim (no.670) dan at-Tirmidzi (no.585).

    [10] Demikian keterangan yang kami pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah.

    [11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

    Written by erwin_f in: Tsaqofah Islamiyah |

    Powered by WordPress. Theme: TheBuckmaker

  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO